Mengejutkan! Siswa Alami Emosi Negatif Selama PJJ
Sudah sekian lama para siswa bertahan dalam metode pembelajaran daring. Imbasnya, sistem pendidikan pun mengalami revolusi dalam melaksanakan metode belajar mengajar. Rasa jenuh, bosan, penat sudah menjadi hal yang kerap kali dijumpai. Akibatnya, pembelajaran jarak jauh (PJJ) sering diwarnai dengan meningkatnya emosi negatif yang dirasakan oleh para siswa. Selain dari dalam diri siswa, emosi negatif juga kerap kali dirasakan oleh para pengajar. Para pengajar dihantui perasaan yang sama karena belum adanya pengetahuan yang cukup mengenai strategi belajar seperti apa yang adaptif juga efektif dengan situaasi pandemi. Selain itu, sistem pendidikan juga belum dibekali dengan adanya perubahan kurikulum mendasar dari pemerintah yang dapat mengatasi permasalahan emosi ini.
Menilik permasalahan tersebut, maka sangatlah
diperlukan sebuah gebrakan baru yang dapat menjawab tantangan revolusi
pendidikan di tengah situasi pandemi. Salah satunya melalui gerakan
pembelajaran menyenangkan. Terobosan tersebut dapat berupa sistem kelas yang
menyenangkan dan pengajar yang memiliki metode pembelajaran inovatif dalam
mengajar, tetapi tetap memberikan dampak positif pada karakter dan hasil
belajar siswa. Pembinaan terhadap guru diperlukan untuk membangun pengembangan
praktik bersama agar kompetensi dan profesionalisme guru dapat meningkat. Bukan
tanpa alasan, hal ini sangatlah diperlukan sebab selama PJJ, para siswa lebih
banyak mengalami emosi negatif. Maka dari itu, isu kesehatan mental para siswa
sangatlah penting untuk lebih dicermati dalam menjawab tantangan revolusi
pendidikan. Sistem pendidikan di Indonesia harus mulai berbenah dan lebih
memperhatikan kondisi mental para siswa, bukan hanya sebatas pencapaian peringkat
kualitas pendidikan di mata dunia. Sistem pendidikan harus mulai bergeser pada
pencapaian kepentingan anak muda di masa depan, yaitu kompetensi penalaran,
kemampuan berpikir kritis, dan kesadaran diri. Materi-materi yang disampaikan
oleh pengajar haruslah menyenangkan dan lebih aplikatif. Pendidikan harus
diarahkan untuk membangun kekuatan penalaran dan daya berpikir kritis agar
siswa mampu membedakan mana informasi bermutu, berguna, dan benar. Apalagi
generasi milenial dan generasi Z dianggap sebagai generasi cerdas karena sangat
mudah mendapatkan akses informasi yang berlimpah dari internet. Hanya saja,
mereka dikhawatirkan memiliki pandangan yang semakin sempit akibat adanya
kekeliruan informasi yang seringkali ditemukan di ragam media sosial .
Akan tetapi, permasalahan anak muda di masa depan itu bisa diminimalkan apabila
siswa dibekali keterampilan kompetensi penalaran, berpikir kritis, serta
kesadaran diri juga memperbanyak ruang perjumpaan lintas generasi.