Penggunaan Aturan Berbahasa dalam Berdemokrasi
Indonesia
adalah negara kepulauan yang besar dengan banyak keragaman di dalamnya. Ada
keragaman budaya, keragaman suku, juga keragaman bahasa. Adapun dalam
menjalankan kehidupan bernegara masyarakatnya, Indonesia menjadi salah satu
negara di dunia yang menjalankan sistem demokrasi. Secara etimologis kata
demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang terbentuk dari kata demos yang
berarti rakyat dan kratos yang berarti kekuatan atau kekuasaan sehingga
apabila kedua kata tersebut digabungkan menjadi kekuatan rakyat atau kekuasaan
rakyat. Dalam sebuah sistem bernegara, demokrasi berarti
menempatkan aspirasi masyarakat melalui wakil-wakilnya yang duduk di
pemerintahan melalui mekanisme pemilihan secara langsung, umum, bebas, rahasia,
jujur, dan adil. Selain itu, melalui mekanisme demokrasi rakyat juga memiliki
harapan agar legitimasi masyarakat dapat senantiasa terjaga dengan baik oleh
wakil-wakil rakyat tersebut. Adapun sejak Indonesia memasuki era reformasi,
konsep demokrasi ini kian santer digaungkan. Hal ini terlihat dari merebaknya kebebasan
pers dan kebebasan berpendapat dalam menyalurkan aspirasi. Tentu saja hal ini
patut diiringi dengan penyesuaian etika dan cara beraspirasi yang benar. Jangan
sampai etika beraspirasi dikesampingkan terutama penggunaan tata bahasa dalam
berdemokrasi sebab bahasa merupakan kekuasaan (language is power) dan sangat berperan dalam mencapai tujuan
nasional maupun internasional suatu bangsa.
Salah satu hal yang menjadi perhatian bersama tentang penggunaan bahasa dalam berdemokrasi adalah mengenai kebebasan pers. Kebebasan pers adalah hak yang
diberikan oleh konstitusional atau perlindungan hukum yang berkaitan dengan
media dan bahan-bahan yang dipublikasikan, seperti menyebarluaskan, mencetak, dan menerbitkan surat kabar, majalah, buku, atau dalam material lainnya tanpa adanya
campur tangan atau perlakuan sensor dari pemerintah. Oleh karena itu, perlu
menjadi perhatian bersama mengenai penggunaan bahasa Indonesia yang baik dalam
konteks kebebasan pers. Hal ini dikarenakan kebebasan bukan memiliki arti sebebas-bebasnya, kebebasan pun beriringan dengan
peraturan sehingga bahasa yang bercirikan arbiter memiliki peranan untuk
menjaga agar pola demokrasi dalam kebebasan pers tidak keluar dari jalurnya.
Jangan sampai kebebasan pers ini tidak diiringi etika dalam berbahasa demokrasi
apalagi jika didalamnya diiringi ujaran kebencian, berita bohong, dan
komunikasi publik yang tidak teratur. Justru pers selaku media yang menggiring opini publik harus mampu menggiring publik menuju pola berbahasa demokrasi yang beretika. Apabila pola bahasa beretika
dalam demokrasi ini dijalankan dengan baik maka secara konseptual kebebasan pers akan
memunculkan pemerintahan yang cerdas, bijaksana, dan bersih. Hal ini dikarenakan jelas
tidaknya informasi sangat ditentukan oleh benar tidaknya bahasa yang dipakai. Melalui kebebasan pers masyarakat akan dapat
mengetahui berbagai peristiwa, termasuk kinerja pemerintah sehingga muncul mekanisme check and balance, kontrol terhadap kekuasaan, maupun strict monitoring dari masyarakat itu sendiri. Oleh karena itu, media dapat dijuluki sebagai pilar keempat demokrasi,
melengkapi eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Kebebasan pers pun dapat berperan untuk meningkatkan kualitas demokrasi. Dengan
kebebasan pers, media massa memiliki peran untuk menyampaikan beragam informasi sehingga memperkuat dan mendukung warga negara
untuk berperan di dalam demokrasi atau disebut civic empowerment dalam rangka menciptakan
masyarakat madani.
Selain itu, di era globalisasi ini dunia digital semakin
digandrungi masyarakat Indonesia. Penggunaan media sosial pun menjadi rutinitas
yang tidak dapat terelakkan lagi. Sering kali media sosial ini dijadikan ajang
untuk berdemokrasi. Masyarakat pun ramai membanjiri kolom komentar media sosial
milik tokoh publik, pegawai pemerintah, ataupun akun media sosial resmi milik
pemerintah agar suaranya didengar. Namun, yang perlu digarisbawahi, yakni
penggunaan bahasa seperti apa yang harus digunakan saat berkomentar agar tidak
menyalahi aturan berdemokrasi. Disini masyarakat harus mampu memahami makna
dari hak dan kewajiban. Jangan sampai karena terlalu sering menuntut hak,
kewajiban pun malah dikesampingkan. Masyarakat memang memiliki hak untuk
berdemokrasi, masyarakat juga memiliki hak untuk beraspirasi, dan berpendapat.
Namun, yang perlu diperhatikan masyarakat juga memiliki kewajiban untuk
menjalankan proses demokrasi tersebut dengan cara yang damai dan tidak
menyalahi aturan. Oleh karena itu, bahasa pun memiliki andil besar dalam
berdemokrasi di era digital. Masyarakat dapat menyuarakan aspirasinya di dunia
digital dengan tutur bahasa yang baku, lugas dan beretika sehingga proses
demokrasi pun dapat berjalan dengan damai. Jangan sampai kemudahan berkomunikasi
lewat dunia digital ini justru disalahartikan dengan bahasa yang saling
menjatuhkan, berbahasa dengan kata-kata yang kasar, ataupun menghina, dan
mencaci maki. Oleh sebab itu, penggunaan bahasa yang baik dan benar memang
sangat dibutuhkan dalam proses demokrasi era digital ini.
Oleh karena itu, melalui penjabaran dari dua kasus di
atas maka dapat disimpulkan bahwa bahasa memang memiliki peran yang sangat
besar dalam berdemokrasi. Bahasa dapat menjadi jembatan penghubung penyampaian
aspirasi masyarakat kepada pemerintah sehingga penggunaan bahasa Indonesia yang
baik dan benar memang sangat diperlukan untuk menjalankan demokrasi di negeri
ini dengan sebaik mungkin.